- Diposting oleh : Abdul Hakim
- pada tanggal : Oktober 02, 2025

Ditulis oleh Agung Widhianto (Pendiri Pandjer School) | 2020
Roman sejarah “Bumi Manusia” merupakan bagian pertama dari tetralogi novel yang ditulis penulis kenamaan Pramoedya Ananta Toer. “Bumi Manusia” mengisahkan perjalanan seorang Pribumi, bergelar bangsawan Raden Mas (R.M.), yang dalam roman tersebut bernama Minke. Nama tersebut, menurut Minke sendiri, didapat dari salah seorang gurunya di HBS (Hogere Burger School). Namun, arti nama tersebut tidak terdapat di kamus-kamus yang ia baca. Kata “Minke” sendiri, mendekati kata “Monkey”, yang berarti monyet.
Minke adalah seorang pribumi yang beruntung dapat mengenyam pendidikan karena latar belakang keluarganya adalah bangsawan. Dia tinggal di pemondokan bersama sahabatnya, Jean Marais dan anaknya May. Sahabatnya yang lain yakni Tuan Telinga dan istrinya, Mevrow Telinga. Selama di pemondokan dia membantu Jean Marais, bekas tentara dan juga seorang pelukis berbakat, untuk mencarikan order lukisan. Selain itu, dia juga menyempatkan diri untuk bermain bersama May dan mengantarkannya ke sekolah.
Minke mengakui dirinya seorang Philogynik. Suatu hari dia diajak oleh teman satu sekolahnya, Robert Suurhof, berkunjung ke rumah temannya, Robert Mellema. Robert Mellema adalah anak pemilik perusahaan pertanian besar di Wonokromo: Boerderij Buitenzorg (baca: Perusahaan Pertanian). Pemiliknya adalah seorang hartawan besar bernama Tuan Herman Mellema. Istrinya adalah seorang nyai bernama Nyai Ontosoroh. Pada kedatangan pertama, mereka berdua ditemui oleh seorang nyai-nyai yang menurut anggapan masyarakat saat itu hanyalah seorang gundik (baca: pelacur) dan memiliki tingkat asusila yang rendah. Minke terheran-heran saat bertemu adik Robert Mellema, Annelies Mellema. Kekagumannya pada kecantikan dan keanggunan Sri Ratu Belanda, Sri Ratu Wilhelmina, sekejap saja hilang setelah bertemu dengan Annelies. Saat itu, Robert Suurhof sibuk mengobrol persepakbolaan bersama Robert Mellema. Sementara itu, Minke diajak mengobrol bersama Nyai Ontosoroh dan putrinya yang cantik jelita, Annelies Mellema. Minke heran dengan kepribadian Nyai Ontosoroh yang memintanya memanggil “Mama”. Nyai ini berbeda dengan nyai-nyai pada umumnya. Nyai ini berwawasan luas, tutur katanya pun halus dan sopan. Bahkan bahasa Belandanya pun nyaris tanpa cela. Padahal dirinya tidak pernah mengenyam pendidikan sama sekali: tentu karena dirinya seorang Pribumi, seorang Nyai pula. Awal perjumpaan itu membuat Minke dan Annelies saling menjalin hubungan cinta. Ciuman pertama Minke pada pipi Annelies menandai tanda cinta mereka. Bahkan sebelum pulang, Minke diminta oleh Mama untuk mencium puterinya untuk kedua kalinya di hadapannya.
Di pemondokan, Minke sering mencurahkan pengalaman kesehariannya pada sahabatnya, Jean Marais. Kejadian yang baru saja dia alami langsung diceritakan kepada sahabatnya. Tidak heran jika Jean terheran-heran karena menurut pandangannya, seorang Nyai hanyalah pribumi biasa yang tidak punya martabat. Namun, hal tersebut ditentang oleh Minke dengan alasan dirinya telah membuktikan sendiri bahwa nyai yang ia temui bukan sembarang nyai. Menurutnya, Nyai Ontosoroh memiliki daya wibawa yang luar biasa hebat sehingga mampu membuatnya bertekuk menghormatinya meski pada awalnya terasa aneh. Bahkan dirinya diminta untuk datang bertemu lagi ke rumah Nyai Ontosoroh. Jean pun tahu bahwa Minke jatuh hati pada gadis tersebut dan ingin memilikinya. Pesan Jean kepada Minke, “Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.”
Jean juga menceritakan pengalamannya selama menjadi serdadu kompeni di Aceh. Sebelumnya dia pernah menjajakan lukisan-lukisannya di Paris. Dia adalah pribadi yang tidak pernah merasa puas hingga akhirnya dia pergi ke luar Eropa dan uangnya habis. Untuk menyelamatkan hidupnya, dia memilih untuk menjadi prajurit dan berangkat ke Aceh. Saat itu dia berhadapan dengan banyak orang Aceh dan ia bunuh mereka selayaknya seorang prajurit perang. Kebanyakan teman prajuritnya berasal dari Jawa Tengah, terutama Purworejo. Dia juga hampir membunuh seorang gadis, yang sebenarnya gadis tersebutlah yang meminta dibunuh. Jean mengelak untuk membunuhnya. Dia merasa dirinya iba dan akhirnya tidak jadi membunuhnya.
Jean bercerita bahwa selama perang Aceh, pertahanan orang Aceh sudah terdesak hingga sebagian besar dari mereka lari ke pedalaman. Seorang panglima Aceh, Tjoet Ali, tetap mempertahankan semangat pasukan-pasukannya. Pasukan Aceh, menurut Jean, begitu membabi-buta hingga serdadu Belanda gentar. Semangat perjungan bukan untuk memperjuangkan diri mereka masing-masing, tetapi agama yang mereka anut: Islam. Pasukan Aceh tidak gentar sedikit pun melawan serdadu kompeni yang secara peralatan lebih canggih. Banyak sekali korban yang berjatuhan. Namun hal itu tidak membuat pasukan Aceh yang lain menjadi takut dan lari dari medan perang. Hal ini lah yang membuat Jean merasa kagum pada semangat perjuangan pribumi. Dia belajar mengagumi dan mencintai bangsa Pribumi yang gagah berani dan berwatak kuat. Menurut Jean, cinta itu indah. Itu yang membuat dirinya jatuh hati pada gadis yang menjadi musuhnya. Jean sangat mencintai anaknya, May. Ia begitu menyayanginya hingga hidupnya seolah-olah sangat tergantung pada May.
Minke sering mendapat surat dari Nyai Ontosoroh yang isinya meminta dirinya untuk berkunjung lagi ke tempat Annelies. Bahkan surat-surat yang lain telah dilakahkan oleh surat dari sang Nyai. Dia memutuskan untuk tinggal beberapa hari di rumah Nyai. Sebenarnya dia masih agak takut jika sewaktu-waktu Tuam Mellema membentaknya. Kejadian pada awal kunjungannya itu membuat dirinya sering khawatir. Di sana dia sangat senang karena dia tinggal satu rumah dengan gadis pujaannya. Ternyata Annelies juga mencintainya. Mereka menjadi sepasang insan yang saling mencintai. Nyai juga sangat baik dan memperlakukannya seperti anaknya sendiri. Nyai merasa Minke sangat cocok untuk menemani Annelies hingga akhirnya mereka dianggap seperti calon suami dan isteri.
Minke gemar menulis hingga suatu hari cerpennya yang berjudul Een Buitengewoon Gewoone NYai die Ik ken (Seorang Nyai Biasa yang Luarbiasa yang Aku Kenal) dimuat dalam selembar koran dan dibaca oleh Nyai Ontosoroh. Di hadapan Nyai dia mengakui bahwa itu adalah tulisannya. Nyai berharap Minke bisa menulis lebih banyak lagi dan menjadi pengarang yang hebat.
Sang Nyai sendiri akhirnya berkisah mengenai asal usulnya menjadi isteri tidak sah Tuan Robert Mellema. Dia adalah seorang Pribumi bernama asli Sanikem. Ayahnya bernama Sastratama dan ibunya tidak diketahui namanya. Ayahnya bercita-cita menjadi juru uang, tetapi sekian tahun keinginannya itu tidak pernah tercapai. Hingga akhirnya ada seorang hartawan muda, seorang Totok (keturunan Eropa asli). Untuk menjadi juru uang, Sastratama harus membuat majikannya puas. Dia memaksa putrinya, Sanikem, untuk dijual kepada majikannya. Sanikem pun tidak bisa melawan apapun dan dia dibawa serta bersama barang-barangnya ke rumah Tuan Mellema yang sangat kaya. Sebenarnya dia tidak ingin dimiliki oleh Tuan Mellema. Dia beranggapan bahwa dirinya hanya akan disebut pelacur atau gundik. Setelah itu dia hanya akan menjadi nyai-nyai yang tidak tahu diri dan memiliki status sosial tidak terhormat di masyarakat. Anggapannya lain dari kenyataan. Tuan Mellema yang ia bayangkan akan menyakitinya, ternyata tidak berbuat demikian. Malahan Tuan Mellema menjadi seorang laki-laki yang sangat baik untuknya sekaligus menjadi gurunya. Setiap hari Tuan Mellema mengajarinya gaya hidup orang Eropa, termasuk bahasa Belanda. Kehidupannya begitu tentram. Apalagi dia diberi kewenangan untuk menabung uang hasil pekerjaannya di perusahaan atas namanya sendiri hingga perusahaan tersebut semakin besar. Aset perusahaan sebagian telah dimiliki oleh dirinya. Beberapa kali pamannya menjenguknya di rumah. Untuk ke sekian kalinya, sang paman mengabarkan bahwa ayah dan ibunya telah meninggal dunia. Namun dirinya tidak sedih sedikit pun. Sebab, kebencian terhadap orang tuanya yang tega menjual dirinya begitu kuat tertanam di dalam jiwa.
Dari hubungan antara Sanikem dan Tuan Mellema, dilahirkan dua orang anak, yakni Robert Mellema dan Annelies Mellema. Keharmonisan keluarga mereka harus terganggu ketika suatu ketika seorang insinyur dari Belanda bernama Maurits Mellema datang ke rumah mereka. Maurits mengaku sebagai pewaris sah kekayaan keluarga Tuan Herman Mellema. Saat itu dia memaki habis sang Ayah, Tuan Mellema, hingga stress dan terguncang jiwanya. Maurits menuntut pertanggungjawaban sang Ayah yang telah meninggalkan isteri sahnya, Mevrouw Amelia Mellema Hammers. Bahkan Sanikem dicaci maki habis-habisan hingga martabatnya jatuh. Dia dianggap telah menjadi benalu dalam keluarga Mellema. Dia dipandang tidak lebih sebagai orang yang gila harta. Dia juga telah menjadi isteri tidak sah dan menghasilkan anak haram. Sejak saat itulah hubungan Tuan Herman Mellema dan Sanikem tidak sebaik sebelumnya. Tuan Herman Mellema menjadi tidak bersemangat hidup karena dirundung oleh banyak tekanan masalah yang melilitnya. Lalu Sanikem merasa ditipu oleh suaminya. Dirinya sudah tidak sudi lagi bertemu dengan suaminya itu. Sanikem berubah menjadi seorang Nyai yang hebat dan bernama Nyai Ontosoroh tanpa menghilangkan ciri pribuminya. Robert Mellema menjadi pribadi yang tidak kenal keluarga. Sedangkan Annelies lebih memilih menjadi seorang Pribumi seperti ibunya, meski sebenarnya dia adalah Indo (keturunan campuran Eropa dan Pribumi).
Mendengar kabar Minke tinggal bersama seorang Nyai, ayahnya yang sebelumnya hanya petugas pengawas Perairan di daerah B. menjadi marah. Minke dipanggil untuk mengahadap ayahnya yang pada saat dia temui telah menjadi seorang bupati yang siap untuk dilantik. Minke sangat dekat dengan ibunya, bahkan melebihi anggota keluarga yang lain. Pada saat penobatan bupati, Minke menjadi penerjemah. Asisten Residen Surabaya, Tuan Herbert De La Croix, kagum melihat kefasihan bahasa Belanda yang dia miliki. Kemarahan ayahnya seketika berubah menjadi kekaguman pada diri anaknya itu. Silih berganti surat berdatangan untuk dirinya. Dia banyak diminta oleh beberapa orang untuk menghadiri makan malam atau hanya sekedar bercakap-cakap. Asisten Residen Surabaya pun mengundang dirinya bertamu di kediamannya. Di sana dia bertemu dengan dua anak Asisten Residen yang juga seniornya di HBS: Sarah dan Miriam. Pada saat itu, dia diajak untuk berdiskusi oleh dua seniornya hingga dirinya merasa marah dan tersinggung. Beberapa pertanyaan dianggap hanya sebagai penghinaan terhadap dirinya. Namun, dia selalu menjawab dengan membawa nama guru kesayangannya, Juffrow Magda Peters: guru Sastra dan Bahasa Belanda.
Terdengar kabar Annelies jatuh sakitparah, Minke pun datang menemuinya. Dokter keluarga yang menanganinya, Dokter Martinet, pun mengaku tidak sanggup menyembuhkan penyakit dara cantik tersebut. Menurut sang dokter, Annelies hanya dapat disembuhkan jika Minke bersedia membantunya. Beberapa hari kemudian, Annelies sadar juga. Nyai Ontosoroh yang gelisah merasa bahagia mendengar kabar itu. Setelah sadar, Annelies begitu dimanjakan oleh Minke hingga Minke harus cuti sekolah beberapa hari demi mengurus Annelies. Annelies juga menceritakan bahwa Minke bukanlah orang pertama yang dekat dengannya. Ternyata Robert Mellema, kakaknya, pernah melakukan hal yang tidak baik terhadap dirinya. Sejak saat itulah dirinya trauma dan mudah terguncang jiwanya.
Beberapa hari kemudian, muncul surat dari Miriam yang isinya menggambarkan keprihatinan Miriam terhadap bangsa Pribumi. Ia menceritakan begitu rendahnya bangsa Pribumi di mata Belanda. Miriam mengharapkan Minke bisa mengawali pribumi-pribumi yang lain, sebagai seorang terpelajar, untuk bangkit dari kemerosotan dan keterpurukan bangsa akibat penjajahan. Miriam tidak ingin Minke, sahabat barunya itu, berdiam diri melihat bangsanya sendiri dijajah oleh bangsa lain. Miriam memang bukan pribumi, tetapi dirinya bersimpati terhadap penderitaan yang dialami Pribumi yang telah tiga abad terjajah tanpa perlawanan yang berarti, karena selalu dapat dikalahkan oleh penjajah.
Minke merasa keselamatan dirinya terancam. Menurut Darsam, Robert Mellema, anak majikannya, menginginkan kematian nyawanya. Dalam beberapa hari dirinya sering diikuti oleh orang berperawakan gendut, bermata sipit, dan tidak dikenal. Namun Darsam telah bertekad untuk menjaga keselamatan dirinya karena itu adalah permintaan sang Nyai. Pada suatu hari orang tidak dikenal itu berdiri di depan gerbang rumah dan seolah mengawasi gerak-gerik penghuni rumah. Darsam dan dirinya juga sudah merasa curiga hingga mereka mengejar orang tersebut, diikuti oleh Nyai Ontosoroh dan Annelies, hingga sampailah mereka di tempat lokalisasi babah Ah Tjong. Di sana mereka bertemu Tuan Herman Mellema yang telah lama menghilang, dan juga Robert Mellema yang juga telah melakukan tindak asusila di tempat tersebut. Tuan Herman Mellema yang ditemui dalam keadaan mabuk lalu jatuh ke lantai dan meninggal dunia. Robert Mellema justru melarikan diri entah kemana bersamaan dengan seorang yang tidak dikenal yang sebelumnya sedang dikejar oleh mereka. Kematian Tuan Herman Mellema mengakibatkan Minke terlibat dalam proses penyelidikan oleh pihak kepolisian. Di pengadilan, Minke, Nyai Ontosoroh, Annelies, Babah Ah Tjong, dan Maiko, menjalani proses pengadilan dan hasilnya memutuskan Babah Ah Tjong, pemilik rumah plesiran, sebagai tersangka. Setelah itu, Minke yang sebelumya menjadi cemoohan teman-teman dan guru-gurunya di HBS, kembali dihormati. Sebab dirinya dianggap telah berjuang dengan gagah berani melawan tuduhan yang tidak dia lakukan. Beberapa tulisannya yang bernama pena “Max Tollenar” menjadi sindiran temannya, Robert Suurhof, yang iri dengan dirinya karena telah berhasil merebut hati Annelies. Namun, guru kesayangannya, Magda Peters, sangat bangga karena Minke telah menjadi murid yang pandai dan mampu bersaing dengan teman-temannya yang Totok maupun Indo. Minke berhasil meraih peringkat kedua murid berprestasi se Hindia Belanda: peringkat pertama se Surabaya. Setelah pengumuman kelulusannya di HBS, dia menikahi Annelies yang sangat dicintainya. Baik bundanya maupun Nyai Ontosoroh, keduanya merestui pernikahan mereka. Ritual pernikahan mereka dilakukan menurut prosesi jawa. Minke mengenakan pakaian adat Jawa beserta keris pusaka peninggalan leluhurnya yang diwariskan secara turun temurun. Bahkan yang merias dan mendandani Minke layaknya seorang raja Jawa, ialah bundanya sendiri. Bundanya berpesan agar dirinya dan anak cucu keturunannya tidak melupakan budaya Pribumi. Meskipun dirinya dididik secara Eropa, tetapi dirinya tidak boleh melupakan apalagi meremehkan budayanya sendiri.
Setelah kematian Tuan Herman Mellema, Maurits Mellema, menuntut penyerahan warisan kekayaan ayahnya itu segera dilakukan secara hukum Belanda. Pada sidang Pengadilan Putih di Surabaya, hasilnya telah memutuskan bahwa Annelies Mellema dan Robert Mellema menjadi anak sah dari Tuan Herman Mellema dan berhak atas kekayaan tersebut. Sedangkan Nyai Ontosoroh tidak berhak atas kekayaan tersebut. Pada akhirnya Minke harus ditinggal pergi oleh Annelies, isteriya, pulang ke negerinya di Netherlands: mungkin untuk selamanya. Minke bertekad untuk menyusul isterinya itu bersama ibu mertuanya, Nyai Ontosoroh. Ketidakadilan dalam hukum Belanda membuat Minke kecewa. Ternyata pribumi menurut pandangan Belanda tidak punya nilai sama sekali.
Momentum penting di Nusantara kala itu ialah adanya penerapan kebijakan politik Etis oleh pemerintahan Hindia Belanda sehingga membuka kesempatan bagi para anak pribumi untuk bisa belajar di sekolah-sekolah Eropa. Hal itu berlaku pula pada Minke yang notabene adalah anak bangsawan. Diskriminasi terhadap kaum pribumi baik secara sosial, politik, ekonomi, dan budaya sangat terasa. Pribumi dianggap sebagai rakyat jelata dengan stratifikasi sosial terbawah dan mungkin tidak berharga sama sekali di mata Eropa. Secara budaya, kebudayaan Eropa dianggap sebagai sesuatu yang tinggi nilainya, sedangkan budaya pribumi tidak bernilai sama sekali. Secara ekonomi, perusahaan-perusahaan besar dikuasai oleh para pengusaha Eropa, meski beberapa di antaranya dikuasai oleh swasta Tionghoa. Pribumi tidak mendapat akses ekonomi yang sepadan dan adil. Hal ini yang membuat kesenjangan ekomoni sangat terlihat.
Momentum adanya seorang pribumi yang begitu luwes berkemampuan Eropa membuktikan bahwa bangsa Pribumi mampu disejajarkan dengan banga Eropa. Keprihatinan dan simpati orang-orang bukan Pribumi, seperti Jean Marais, Herbert De La Croix, Miriam, Sarah, Magda Peters dan beberapa Eropa lainnya menunjukkan adanya ketidaksetujuan di kalangan Eropa sendiri dengan adanya penjajahan terhadap Pribumi. Usaha-usaha untuk memprotes ketidakdilan sangat efektif dilakukan melalui surat kabar, yang tidak memungkiri adanya kebencian dari pemerintah Hindia Belanda. Keinginan untuk membuat Pribumi bisa membaca lalu bangkit dari penjajahan membuat sekelompok orang Pribumi dan Non Pribumi bersama-sama memprotes ketidakadilan yang dilakukan selama kurang lebih tiga abad lamanya. Para terpelajar berusaha untuk membuka mata mereka, memberi kesadaran kepada para Pribumi yang lain untuk bangkit dari penjajahan. Pembentukan pribumi menuju kebebasan dari penjajahan mulai terlihat pada akhir abab ke delapan belas. Munculnya golongan terpelajar mempengaruhi pandangan-pandangan kaum Pribumi untuk terus berjuang bersatu padu melawan penjajahan Belanda. Dukungan dari sebagian kecil orang Eropa pun memiliki dampak positif terhadap upaya tersebut. Tulisan-tulisan bersifat protes terhadap kebijakan Pemerintah Hindia Belanda menjadi media penyadaran terhadap penindasan yang menarik simpati banyak kalangan. Di situlah awal pembentukan bangsa di Nusantara yang selanjutnya diteruskan dengan adanya perkumpulan-perkumpulan golongan terpelajar dan organisasi-organisasi pergerakan kemerdekaan.